Contoh Tokoh yang Memperjuangkan Sebuah Kebahagiaan
Butet dan Cerita tentang Sebuah Komitmen
*tulisan ini sudah dimuat KompasKlass Jumat 13
September 2013 kolom Budi Luhur*
Apa yang terlintas di kepala ketika mendengar nama
Butet Manurung? Barangkali, ingatan akan lari pada pendidikan. Ya, sosok Butet
Manurung kerap diidentikkan dengan gerakan pendidikan lewat Sokola-nya. Apa
yang dikerjakan lebih dari 10 tahun telah membuahkan hasil.
Sokola
menjadi tempat belajar anak-anak Suku Rimba yang selama hidup bergantung
sepenuhnya pada alam tanpa terusik perkembangan dunia luar. Ketika pembalakan
hutan dan pembukaan lahan sawit secara besar-besaran terjadi, mau tidak mau ada
perubahan yang tidak disadari Suku Orang Rimba. (diartikel lain disebutkan bahwa pembukaan lahan sawit
mengakibatkan mereka banyak ditipu, karena tidak bisa membaca dan menulis.
Yaitu disuruh menandatangani surat kosong, lalu diberi uang dg jumlah yg tidak
sebanding dengan harga tanah mereka yang diambil oleh para penipu. Setelah para
penipu tersebut mengambil tanah mereka dengan menunjukkan surat yang telah
mereka tanda tangani, mereka baru menyadari bahwa mereka telah ditipu). Butet
melihat hal tersebut dan merasa terpanggil untuk menolong agar mereka dapat
melihat kenyataan dan mau berubah demi kelangsungan hidup.
Apa yang dilakukan Butet Manurung bersama
teman-temannya bukanlah proses kerja selama setahun dua tahun. Seringkali kita
hanya melihat kesuksesan yang berhasil diraih tanpa memahami perjalanannya.
Penulis yakin, tidak mudah bagi Butet dan teman-teman ketika membangun Sokola.
Mereka harus berhadapan dengan tradisi dan keyakinan yang sudah dipegang teguh
secara turun menurun. Terlebih lagi, sistem pendidikan kita sulit mengakomodasi
perbedaan.
Tak dimungkiri, Orang Rimba kerap dianggap sebagai
orang aneh yang tidak layak masuk sekolah. Sistem pendidikan formal yang ada
sulit untuk diikuti. Jangankan sekolah, belajar membaca pun jadi kegiatan
asing. Akan tetapi, kita bisa melihat keteguhan Butet untuk memperjuangkan
pendidikan bagi mereka dengan mendirikan dan mengelola Sokola.
Perjuangan langka
Di
era media sosial, jamak gerakan sosial bermunculan. Kita pun menjadi (sok)
pahlawan hanya dengan bermodal klak-klik di gadget. Perjuangan Butet yang mau
terjun dan terlibat langsung mendampingi anak-anak supaya mendapatkan
pendidikan layak menjadi hal langka.
Mempertahankan
keberlangsungan misi luhur Sokola dan terus menghasilkan anak didik yang
bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tentu membutuhkan
perjuangan nyata dan sangat panjang. Ada waktu, ilmu, dan komitmen yang
didedikasikan di sana sehingga Sokola mempunyai program yang berkelanjutan dan
dapat diduplikasi di berbagai daerah.
“Semua tempat adalah sekolah, semua orang
adalah guru”. Kalimat ini penulis dapatkan dari blog sekolah pesisir yang
menceritakan proses berdirinya Sokola. Kalimat sederhana ini terdengar menohok
karena bertentangan dengan realiskan mereka dari lingkungannya. Sering kali
kita mengukur kesuksesan pendidikan dengan berkiblat kepada negara lain dan lalai
bahwa setiap negara dan wilayah memiliki nilai yang patut dijaga dan
dikembangkan.
Dalam
benak penulis, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang tidak mencabut
anak-anak dari akarnya. Mereka memang wajib dibekali dengan ilmu pengetahuan
dasar seperti matematika, bahasa, etika, tetapi tidak semua anak harus menjadi
insinyur atau bankir.
Apa
salahnya kalau mereka dari keluarga nelayan, dan tetap menjadi nelayan tetapi
nelayan yang handal. Apa salahnya jika anak petani bersekolah dan diajarkan
tentang pertanian sehingga ia kelak menjadi petani yang keren. Sistem
pendidikan yang dibangun Sokola mengakomodasi hal tersebut. Anak-anak dibekali
tanpa mencabut mereka dari nilai asal.
Butet
Manurung tidak mau berbuat setengah-tengah. Program Sokola adalah bukti totalitas
pengabdiannya. Kegigihan dalam membangun Sokola supaya diterima masyarakat dan
dijalankan dengan sistem berkesinambungan sehingga menjadi tempat pendidikan
yang terdaftar dan diakui adalah bukti kerja kerasnya.
Banyak
gerakan sosial hanya ramai di awal tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya.
Memang tidak mudah. Butuh komitmen, konsistensi, dan waktu yang akan menguji.
Upaya semakin sulit apabila bergerak dalam bidang pendidikan. Gerakan ini mau
tidak mau harus berjangka panjang sehingga dampak dapat dirasakan. Kita sering
kali enggan untuk ribet dan menginginkan segala sesuatu serba instan. Alhasil,
kegiatan sosial yang bersifat charity cenderung lebih diminati.
Umumnya,
kegiatan sosial jangka panjang menjadi kurang menarik karena hasil tidak dapat
dilihat langsung dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjalankan. Inilah
PR bagi siapa saja yang bergerak di bidang pendidikan. Namun,
penulis percaya masih banyak orang yang bersedia dan peduli untuk terus
bergerak dan berkarya bagi pendidikan. Penulis percaya, pendidikan adalah salah
satu kunci utama menjadi manusia yang lebih baik.
Tulisan ke-2
Mewujudkan Mimpi Lama
Membaca
biografi Butet sebagai anak Jakarta dan besar di lingkungan modern cukup
mencengangkan bagi penulis. Ketika dia memutuskan untuk terjun dan mendampingi
anak-anak di rimba, Butet melepaskan banyak hal. Kehidupan kota dengan segala
fasilitas, lingkungan orang-orang berpendidikan, hiburan yang tidak pernah
berhenti sepanjang malam, serta teman dan keluarga yang selalu ada tiba-tiba
berganti dengan situasi rimba yang sunyi dan orang-orang yang terbelakang.
Perlu keberanian dan lompatan yang besar. Salut kepada Butet. Perjuangan Butet
membangkitkan kenangan penulis akan pesan ayah yang selalu terngiang. Menjadi
manusia yang bermanfaat untuk sesama adalah manusia yang paling sukses di
dunia. Butet Manurung adalah manusia sukses. Ketika kata “sukses” identik
dengan ukuran materi dan jabatan yang bisa saja hilang dalam sekejap, “sukses”
dari Butet Manurung justru akan lekat sepanjang zaman. Anak-anak di Sokola akan
selalu mengenangnya, karena dalam jejak langkah perwujudan mimpi mereka selalu
ada Butet Manurung di sana.
Program untuk Papua
Aksi nyata Butet terus berkembang hingga detik ini.
Bersama rekan-rekannya, ia tengah melakukan Ekspedisi Literasi Papua. Kegiatan
kajian penelusuran kondisi, persoalan pendidikan, serta rintisan program
literasi ini dilakukan di Kabupaten Asmat.
Penentuan lokasi pun bukanlah tanpa alasan.
Berdasarkan riset, sebanyak 1,9 juta dari 8,5 juta penduduk buta huruf
Indonesia berada di Papua. Maka dari itu, Sokola menyusuri Asmat dan memberi
literasi di lokasi yang dipilih. Ekspedisi Literasi Papua sekaligus menandai 10
tahun Sokola.
Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan yang
berguna bagi para pihak yang terkait persoalan pendidikan di kabupaten Asmat.
Dalam praktiknya, tim akan menempatkan dua orang guru berpengalaman di salah
satu kampung terpilih guna merintis program literasi.
Ekspedisi Literasi Papua merupakan mimpi lama tim
Sokola yang selama 10 tahun terakhir telah mengembangkan program literasi dan
pendampingan, khususnya bagi komunitas adat Indonesia. Kondisi pendidikan saat
ini serta kekhususan budaya Papua menjadi pertimbangan bahwa diperlukan
pendekatan khusus pula dalam penyelenggaraan program pendidikan di daerah
tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar