Selasa, 04 Maret 2014

Contoh Tokoh yang Memperjuangkan Sebuah Kebahagiaan
Butet dan Cerita tentang Sebuah Komitmen
*tulisan ini sudah dimuat KompasKlass Jumat 13 September 2013 kolom Budi Luhur*
Apa yang terlintas di kepala ketika mendengar nama Butet Manurung? Barangkali, ingatan akan lari pada pendidikan. Ya, sosok Butet Manurung kerap diidentikkan dengan gerakan pendidikan lewat Sokola-nya. Apa yang dikerjakan lebih dari 10 tahun telah membuahkan hasil.
Sokola menjadi tempat belajar anak-anak Suku Rimba yang selama hidup bergantung sepenuhnya pada alam tanpa terusik perkembangan dunia luar. Ketika pembalakan hutan dan pembukaan lahan sawit secara besar-besaran terjadi, mau tidak mau ada perubahan yang tidak disadari Suku Orang Rimba. (diartikel lain disebutkan bahwa pembukaan lahan sawit mengakibatkan mereka banyak ditipu, karena tidak bisa membaca dan menulis. Yaitu disuruh menandatangani surat kosong, lalu diberi uang dg jumlah yg tidak sebanding dengan harga tanah mereka yang diambil oleh para penipu. Setelah para penipu tersebut mengambil tanah mereka dengan menunjukkan surat yang telah mereka tanda tangani, mereka baru menyadari bahwa mereka telah ditipu). Butet melihat hal tersebut dan merasa terpanggil untuk menolong agar mereka dapat melihat kenyataan dan mau berubah demi kelangsungan hidup.
Apa yang dilakukan Butet Manurung bersama teman-temannya bukanlah proses kerja selama setahun dua tahun. Seringkali kita hanya melihat kesuksesan yang berhasil diraih tanpa memahami perjalanannya. Penulis yakin, tidak mudah bagi Butet dan teman-teman ketika membangun Sokola. Mereka harus berhadapan dengan tradisi dan keyakinan yang sudah dipegang teguh secara turun menurun. Terlebih lagi, sistem pendidikan kita sulit mengakomodasi perbedaan.
Tak dimungkiri, Orang Rimba kerap dianggap sebagai orang aneh yang tidak layak masuk sekolah. Sistem pendidikan formal yang ada sulit untuk diikuti. Jangankan sekolah, belajar membaca pun jadi kegiatan asing. Akan tetapi, kita bisa melihat keteguhan Butet untuk memperjuangkan pendidikan bagi mereka dengan mendirikan dan mengelola Sokola.
Perjuangan langka
Di era media sosial, jamak gerakan sosial bermunculan. Kita pun menjadi (sok) pahlawan hanya dengan bermodal klak-klik di gadget. Perjuangan Butet yang mau terjun dan terlibat langsung mendampingi anak-anak supaya mendapatkan pendidikan layak menjadi hal langka.
Mempertahankan keberlangsungan misi luhur Sokola  dan terus menghasilkan anak didik yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tentu membutuhkan perjuangan nyata dan sangat panjang. Ada waktu, ilmu, dan komitmen yang didedikasikan di sana sehingga Sokola mempunyai program yang berkelanjutan dan dapat diduplikasi di berbagai daerah.
 “Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru”. Kalimat ini penulis dapatkan dari blog sekolah pesisir yang menceritakan proses berdirinya Sokola. Kalimat sederhana ini terdengar menohok karena bertentangan dengan realiskan mereka dari lingkungannya. Sering kali kita mengukur kesuksesan pendidikan dengan berkiblat kepada negara lain dan lalai bahwa setiap negara dan wilayah memiliki nilai yang patut dijaga dan dikembangkan.
Dalam benak penulis, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang tidak mencabut anak-anak dari akarnya. Mereka memang wajib dibekali dengan ilmu pengetahuan dasar seperti matematika, bahasa, etika, tetapi tidak semua anak harus menjadi insinyur atau bankir.
Apa salahnya kalau mereka dari keluarga nelayan, dan tetap menjadi nelayan tetapi nelayan yang handal. Apa salahnya jika anak petani bersekolah dan diajarkan tentang pertanian sehingga ia kelak menjadi petani yang keren. Sistem pendidikan yang dibangun Sokola mengakomodasi hal tersebut. Anak-anak dibekali tanpa mencabut mereka dari nilai asal.
Butet Manurung tidak mau berbuat setengah-tengah. Program Sokola adalah bukti totalitas pengabdiannya. Kegigihan dalam membangun Sokola supaya diterima masyarakat dan dijalankan dengan sistem berkesinambungan sehingga menjadi tempat pendidikan yang terdaftar dan diakui adalah bukti kerja kerasnya.
Banyak gerakan sosial hanya ramai di awal tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Memang tidak mudah. Butuh komitmen, konsistensi, dan waktu yang akan menguji. Upaya semakin sulit apabila bergerak dalam bidang pendidikan. Gerakan ini mau tidak mau harus berjangka panjang sehingga dampak dapat dirasakan. Kita sering kali enggan untuk ribet dan menginginkan segala sesuatu serba instan. Alhasil, kegiatan sosial yang bersifat charity cenderung lebih diminati.
Umumnya, kegiatan sosial jangka panjang menjadi kurang menarik karena hasil tidak dapat dilihat langsung dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjalankan. Inilah PR bagi siapa saja yang bergerak di bidang pendidikan. Namun, penulis percaya masih banyak orang yang bersedia dan peduli untuk terus bergerak dan berkarya bagi pendidikan. Penulis percaya, pendidikan adalah salah satu kunci utama menjadi manusia yang lebih baik.

Tulisan ke-2
Mewujudkan Mimpi Lama
Membaca biografi Butet sebagai anak Jakarta dan besar di lingkungan modern cukup mencengangkan bagi penulis. Ketika dia memutuskan untuk terjun dan mendampingi anak-anak di rimba, Butet melepaskan banyak hal. Kehidupan kota dengan segala fasilitas, lingkungan orang-orang berpendidikan, hiburan yang tidak pernah berhenti sepanjang malam, serta teman dan keluarga yang selalu ada tiba-tiba berganti dengan situasi rimba yang sunyi dan orang-orang yang terbelakang. Perlu keberanian dan lompatan yang besar. Salut kepada Butet. Perjuangan Butet membangkitkan kenangan penulis akan pesan ayah yang selalu terngiang. Menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama adalah manusia yang paling sukses di dunia. Butet Manurung adalah manusia sukses. Ketika kata “sukses” identik dengan ukuran materi dan jabatan yang bisa saja hilang dalam sekejap, “sukses” dari Butet Manurung justru akan lekat sepanjang zaman. Anak-anak di Sokola akan selalu mengenangnya, karena dalam jejak langkah perwujudan mimpi mereka selalu ada Butet Manurung di sana.

Program untuk Papua
Aksi nyata Butet terus berkembang hingga detik ini. Bersama rekan-rekannya, ia tengah melakukan Ekspedisi Literasi Papua. Kegiatan kajian penelusuran kondisi, persoalan pendidikan, serta rintisan program literasi ini dilakukan di Kabupaten Asmat.
Penentuan lokasi pun bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan riset, sebanyak 1,9 juta dari 8,5 juta penduduk buta huruf Indonesia berada di Papua. Maka dari itu, Sokola menyusuri Asmat dan memberi literasi di lokasi yang dipilih. Ekspedisi Literasi Papua sekaligus menandai 10 tahun Sokola.
Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan yang berguna bagi para pihak yang terkait persoalan pendidikan di kabupaten Asmat. Dalam praktiknya, tim akan menempatkan dua orang guru berpengalaman di salah satu kampung terpilih guna merintis program literasi.
Ekspedisi Literasi Papua merupakan mimpi lama tim Sokola yang selama 10 tahun terakhir telah mengembangkan program literasi dan pendampingan, khususnya bagi komunitas adat Indonesia. Kondisi pendidikan saat ini serta kekhususan budaya Papua menjadi pertimbangan bahwa diperlukan pendekatan khusus pula dalam penyelenggaraan program pendidikan di daerah tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

 

gamada © 2008. Design By: SkinCorner